Melodi Perlawanan Baskara di Tengah Gejolak Politik

Daniel Baskara Putra melakukan aksi crowd surfing bersama penonton .Feast (instagram.com/wordfangs)


Daniel Baskara Putra merupakan sosok yang tidak pernah gentar menyuarakan isu politik melalui melodi dan lirik sejak masa kuliahnya di FISIP UI pada 2012. Pria yang akrab disapa Baskara itu, kini kembali menyuguhkan karyanya dalam lagu terbaru .Feast, “Politrik”. Kehadiran lagu ini menandai babak baru dalam perjalanan panjangnya sebagai musisi yang selalu setia pada suara hati serta kegelisahan masyarakat.

Lagu “Politrik” mengekspresikan kekhawatiran dan membawa pesan kemarahan .Feast terhadap kondisi politik Indonesia selama satu dekade terakhir. Dengan lirik tajam dan penuh makna, Baskara kembali merajut narasi perlawanan dan introspeksi lewat lagu yang menjadi bagian dari album baru mereka, Membangun & Menghancurkan.

Dalam perannya sebagai vokalis dan penggerak utama .Feast, Baskara, bersama rekan-rekannya, Adnan Satyanugraha (gitar), Dicky Renanda (gitar), dan Fadli Fikriawan (bass), melantunkan “Politrik” dengan tempo cepat dan distorsi agresif.

Pada video klipnya, .Feast menyajikan visual lagu itu dengan kesan kuat melalui latar putih yang dihiasi oleh ornamen-ornamen kritik. Tak hanya visual, .Feast juga menyuguhkan berbagai sindiran dalam video yang berdurasi 8 menit 19 detik itu. Sindiran-sindiran ini ditampilkan dengan cerdas dan mampu menggugah penonton untuk berpikir lebih dalam mengenai isu-isu sosial dan politik yang diangkat.

Salah satu komentar penonton yang mendapat banyak respon ialah akun @geor9968. “Kameramen masuk studio, merekam semua yang terjadi, dikunci dan ditinggal. Ini layaknya ada oknum yang mencoba untuk masuk ke dalam, lalu merekam hendak mencari kebenaran. Namun, dibungkam dan menghilang. Kan sudah diingatkan, jangan masuk ke dalam sama mba yang tadi (dalam video klip),” tulisnya di kolom komentar yang mendapat 373 suka.


Penampilan Daniel Baskara Putra (vokal) dan Adnan Satyanugraha (gitar) dalam .Feast (instagram.com/wordfangs)


Sebagai band yang dikenal kritis terhadap realitas sosial, .Feast terus memperkuat reputasinya dengan karya-karya yang mengangkat isu sosial-politik. Hal ini terlihat dalam album Multiverses (2017), Abdi Lara Insani (2022), serta dua album mini Beberapa Orang Memaafkan (2018) dan Uang Muka (2020). Prestasi Baskara bersama .Feast juga tercermin dalam penghargaan Album Rock Terbaik di Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards 2022 untuk album Abdi Lara Insani.

Baskara dengan semangat yang tak pernah surut, terus menerjang arus, menyuarakan kebenaran melalui musiknya. Seperti angin yang tidak bisa dihentikan, suara serta pesan-pesan menusuk Baskara terus menggema, meresap ke dalam sanubari mereka yang mendengarkannya.

”.Feast dibilang sebagai grup musik band wagon karena merilis ’Peradaban’ pada tahun pemilu. Sebenarnya dari dulu kami berlima sudah aktif dalam dunia aktivisme. Sebelum .Feast merilis singel pertama, kami juga sudah banyak terlibat dalam komunitas pergerakan dan membantu berbagai bentuk advokasi,” kata Baskara dalam siaran langsung Sounds Rights melalui akun Youtube Amnesty International Indonesia di Jakarta, Selasa (24/3/2020) malam.

Lagu-lagu Feast terinspirasi dari banyak fenomena dan insiden. Singel perdana ”Camkan” (2014) bercerita tentang kritik mengenai kebebasan beragama di Indonesia dan ”Peradaban” (2018) berisi tanggapan mengenai insiden Bom Surabaya pada 2018. Dalam ”Peradaban”, mereka menyoroti kelompok masyarakat yang ingin mengubah Indonesia.

Lagu lainnya, ”Berita Kehilangan” (2018), berangkat dari ide mengenai seorang Ibu yang kehilangan anaknya akibat pembunuhan pada 2011 serta surat seorang Ibu kepada anaknya yang menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan. Lalu, lagu ”Tarian Penghancur Raya” (2019) membahas keberadaan tari gandrung dari Banyuwangi, Jawa Timur, yang terancam.

Awal Karir

Ketenaran yang datang mendadak mengubah kehidupan Baskara. Hal ini jauh dari yang dibayangkannya sebelumnya. Keputusan untuk terjun ke dunia musik, suka tidak suka, membawanya pada perjalanan pembelajaran yang tiada habisnya. Dari “Kami Belum Tentu”, “Peradaban”, hingga “Gugatan Rakyat Semesta” terus dilaluinya.

Di rumah yang terletak di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, proses kreatif bersama teman-temannya menghasilkan berbagai karya. Dari bergabung dengan grup musik .Feast, menjadi Hindia, membangkitkan Lomba Sihir, hingga membuat label musik sendiri.


Awalnya, semua ini hanyalah perjalanan menjajal berbagai rencana yang dibuatnya usai lulus dari jurusan Ilmu Komunikasi. Namun, jalannya perlahan terbuka. Salah satu targetnya tercapai, yakni bekerja di British Council, Divisi Seni dan Budaya. Jaringannya pun kian meluas, sembari tetap aktif di .Feast yang awalnya dibentuk dari acara kampus ke kampus.

Baskara lalu memutuskan pindah dan bergabung dengan Double Deer, sebuah label rekaman independen atas ajakan Kimo Rizky dan Kukuh Rizal Arfianto. Di tengah perjala-nan, .Feast tiba-tiba melejit.

Waktunya untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan membesarkan .Feast terasa tidak cukup. Baskara berani keluar bersama Kukuh, hingga akhirnya mendirikan Sun Eater. Label rekaman dan usaha rintisan di bidang musik yang tidak hanya menaungi .Feast, tapi juga musisi muda bertalenta lainnya.

Menjadi Hindia

Satu per satu rencana yang ditulisnya untuk diri sendiri terwujud, termasuk memiliki proyek solo. Dengan nama panggung Hindia, Baskara dikenal mampu menyuarakan keresahan dan kegelisahan banyak generasi muda saat ini terhadap kehidupan. Berbeda dengan .Feast yang secara satir menyindir persoalan sosial politik di negeri ini.

Terinspirasi setelah mendengar Mantra Mantra milik Kunto Aji, Baskara membuka diri dan berkisah lewat Hindia. Di beberapa wawancara, Baskara mengaku mengalami mental breakdown pada awal 2019, sejalan dengan kesuksesan .Feast yang mengubah hidupnya.

Keluarga dan teman-teman dekat diakuinya menjadi pendukung utama yang membantunya bangkit. Keluarga memang berperan besar dalam hidupnya, termasuk mengenalkannya pada musik. Anak bungsu dari tiga bersaudara ini mengaku sempat enggan terjun ke dunia musik.


Penampilan Daniel Baskara Putra di Hindia (instagram.com/wordfangs)

Saat minatnya terhadap musik mulai tumbuh, pria yang pernah bermimpi menjadi astronot ini justru sering digoda oleh kakaknya yang lebih dulu terjun ke dunia musik. Ketika SMA, ia dan teman-temannya membentuk band yang berhasil tampil di pentas seni dan dibayar, meski saat itu hanya memainkan lagu orang.

Berlanjut saat kuliah yang tak disangkanya bertahan dan sukses hingga saat ini. Tak sekadar bermain gitar, Baskara juga didapuk menyanyi. Melihat upaya dan capaiannya, orang tua dan kakak-kakaknya kini menjadi garda terdepan yang bangga dengannya.

Selain musik, Baskara juga piawai dalam bidang desain. Tujuan utamanya setelah lulus SMA dulu adalah jurusan Desain Visual di Institut Teknologi Bandung. Beberapa beasiswa ke luar negeri di bidang seni rupa juga sempat ditawarkan kepadanya. Namun, pilihannya jatuh pada Universitas Indonesia dengan peminatan periklanan yang juga mempelajari desain visual.


Peduli

Berkembang di lingkungan pendidikan yang mendukung, diakuinya sangat membantu. Karyanya bersama .Feast dan berbagai pendapat yang disuarakannya tidak bisa dilepaskan dari latar belakang pendidikannya. Lewat media sosialnya, Baskara sering menyuarakan komentarnya terhadap peristiwa yang tengah ramai. Di lagu-lagu yang ditulisnya, tertuang keluhannya terhadap yang terjadi di negeri ini.


Dari membaca komik ini, ia mendadak paham berbagai istilah. Kepedulian pada isu sosial politik pun terpantik di sini. “Kalau ditanya, gini di kepala gue itu punya semacam kompartemen. Ohh, ada musisi yang aktivis dan ada yang temannya aktivis. Nah, .Feast ini teman-temannya aktivis. Jadi, apa yang kita bisa bantu, pasti kita bantu,” jelas penggemar Jhon Mayer ini.


Kucing milik Baskara, Abang (kiri) dan Madu (kanan) (instagram.com/halomadu)

Bentuk kepedulian lain juga ditunjukkan Baskara lewat kucing-kucing kesayangannya, yakni Abang, Madu, Kyubon, dan Kosmo. Empat kucing yang juga turut mewarnai hari-harinya. Berawal dari tidak sengaja dan iba, Baskara justru merasa menikmati kesehariannya bersama para anak yang kerap eksis di laman media sosialnya.


Selain yang dipelihara, ada sekitar 14 ekor lainnya yang diselamatkannya dan dibantunya hingga menemukan orang yang bersedia mengadopsi. Selama masa tunggu menemukan pengadopsi, Baskara merawat semua kucingnya. Bahkan, ia memesan khusus kandang ukuran besar yang dapat ditempati belasan kucing itu. Ia pun kerap kali bersuara untuk lebih baik mengadopsi.


Bahkan hal ini ditulisnya dalam tugas akhir kuliahnya. Bedanya tema saat itu tentang anjing yang bertajuk "Every Dog Has A Story". Baskara sendiri mengingat terakhir kali memelihara anjing bernama Kenzo dengan jenis Golden Retriever saat duduk di sekolah dasar.

Banyak rencana dari catatannya yang sudah dilakukan, tapi Baskara tetap menyimpan asa. Ia pun masih punya angan untuk bersekolah lagi. S2 itu bukan sesuatu yang terlalu jauh baginya. Dalam arti, sampai ada satu atau dua rilisan yang membuat dirinya puas serta sanggup bertahan beberapa tahun ke depan, ia akan lanjut S2.



Kamu Harus Tahu

Kamu Harus Tahu adalah media berita digital yang lahir dengan semangat untuk memberikan informasi yang akurat, terpercaya, dan relevan kepada masyarakat luas. Kami percaya bahwa pengetahuan adalah kekuatan, dan dengan menyebarkan berita serta informasi yang berkualitas, kami dapat berkontribusi pada masyarakat yang lebih cerdas dan kritis.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama